Jumat, 03 Mei 2013

kisah Ahmad Mursyid Sugito (Mantan Pendeta)

Paulus mengutip:

Kalau memang segala sesuatu itu tidak akan ada tanpa Dia, mengapa Dia lahir di kandang domba. “Lho kok masih duluan domba?” tanyaku dalam hati.

Aku terlahir dengan nama Antonius Sugito di Kediri pada 8 Agustus 1956 dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Sekolah dasar sampai menengah atas kujalani di tanah kelahiranku. Setamat SMA aku kuliah Teologi di Lawang, Malang.

Namun kuliah di sana tidak menjamin seseorang semakin yakin dengan keyakinannya. Buktinya, pada tahun 1984, setahun sebelum lulus kuliah, aku malah mulai ragu dengan beberapa ayat-ayat dalam Injil. Ayat-ayat tersebut sering sekali kupertanyakan kepada dosen-dosenku. Namun sesering itu pula dosen-dosen yang mengisi kuliah di kelasku memberikan jawaban yang tidak memuaskan akalku.

Bahkan Dosen Dr Verkuil dari Belanda pun tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal tentang ketuhanan Yesus. Keraguanku tentang keaslian Injil sebagai murni firman Tuhan semakin menguat.


Kristenisasi di Nganjuk

Pada 1985, lulus kuliah aku langsung ditempatkan sebagai staf Bimbingan Masyarakat Kristen Departeman Agama Provinsi Jawa Timur. Dua tahun kemudian aku ditugaskan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Aku membuka kembali Alquran dan membacanya. Itu kulakukan bukanlah untuk belajar dan masuk Islam. Tetapi seperti yang telah diajarkan di bangku kuliah, sebagai alat untuk mengkristenkan orang. Mencari kelemahan Islam di dalam Alquran untuk menyerang umatnya.

Namun ketika membaca Surat Al Ikhlas hatiku tersentuh lagi, keraguan akan kemurnian Injil kembali mencuat dalam hati. Aku langsung menutupnya. Sudahlah aku tidak mau lagi membaca Alquran nanti aku malah masuk Islam!

Seperti biasa aku menjalankan fungsiku sebagai pendeta. Namun ayat Alquran itu selalu membayangi benakku dan terus bergumul dengan keyakinanku. Aku terus bertahan untuk tidak membaca Alquran.

Karena aku tidak berhasil menemukan kelemahan Alquran, seperti halnya para seniorku di Teologi Malang, maka jurus andalan kami pun dilancarkan yakni melalui pendekatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Mereka yang lemah ekonomi dan dangkal pemahaman Islamnya secara kontinyu kukirimi sembako dan uang. Bila anggota keluarganya sakit biaya berobatnya kutanggung.

Tentu uang yang kugunakan itu bukan uang pribadiku. Aku punya uang dari mana? Itu semua didapat dari sumbangan setiap gereja yang ada di Nganjuk. Saat itu baru ada 17 gereja masing-masing menyumbangku 5.000 rupiah per bulan.

Ketika aku membagikan sembako warga tidak ada yang protes bahwa ini program kristenisasi atau apa. Mereka malah senang dan berebut untuk mendapatkan bagian paling banyak. “Kurang! Tambah lagi ya?” ujar mereka.

Target utamaku saat itu ialah warga Kec. Ngronggot. Tidak sampai satu tahun, banyak warga yang masuk Kristen. Para pejabat ada yang tidak tahu menahu, tidak sedikit juga yang kutembak dengan duit sehingga mereka memuluskan pembangunan gereja. Pada tahun 1988 maka bertambah satu lagi gereja di Nganjuk.

Aku pun menjadi terkenal di kalangan misionaris. Sejak itu aku menjadi satu-satunya pendeta di Nganjuk yang mendapatkan kucuran dana operasional dari dua negara sekaligus, Belanda dan Australia, masing-masing memberiku satu juta rupiah tiap bulan.

Saat itu nominal segitu ya sangat buanyaaak! Satu dolar kan tidak sampai dua ribu rupiah. Sekarang sekitar sepuluh ribu rupiah kan? Kalau pakai ukuran sekarang dua juta saat itu setara seratus jutaanlah.

Dengan uang sebanyak itu, aku semakin leluasa melakukan kristenisasi di sana. Dana tersebut digunakan untuk membelikan sembako dan biaya berobat orang-orang yang ditargetkan agar masuk Kristen.

Mereka yang telah masuk Kristen kudogma lagi dengan cerita-cerita tentang surga-neraka sehingga mereka pun menyumbangkan uangnya untuk mengkristenkan yang lain begitu seterusnya. Sehingga dibangun terus gereja di Rejoso dan kecamatan lainnya.

Saking banyaknya yang masuk Kristen bahkan dalam satu kecamatan aku bisa membangun tiga, empat atau lima gereja. Sampai tahun 1993, aku berhasil membangun 38 gereja. Jadi total gereja saat itu di Nganjuk 56 unit.


Masuk Islam

Januari 1993, aku termenung sendiri. Keraguanku akan kemurnian Injil menguat lagi. Teringat kembali ayat-ayat yang bertentangan di dalam Injil. Dalam Yohanes Pasal 1 Ayat 3 disebutkan di dalam penciptaan segala sesuatu tanpa Dia tidak akan ada sesuatu…

Padahal di dalam Injil Markus dan Mathius bahwa Tuhan Yesus itu lahir di kandang domba. Kalau memang segala sesuatu itu tidak akan ada tanpa Dia, mengapa Dia lahir di kandang domba. “Lho kok masih duluan domba?” tanyaku dalam hati.

Aku pun bingung dan berpikir keras, “Apakah harus dikhitan atau jangan?”. Pasalnya, Injil Ibrani mengharuskan untuk khitan tetapi di dalam Injil Yakobus disebutkan jika kamu berkhitan kamu tidak menjadi umat Yesus Kristus.

Akupun kembali membuka Alquran. Kubaca kembali terjemah Surat Al Ikhlas. “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Lam yalid wa lam yulad, Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Kalimat itulah yang paling menyentuh hatiku. Iya, Allah tidak punya anak dan bukan anak. Ini mestilah yang benar! Kemudian aku baca lagi dengan serius terjemahan ayat-ayat yang lainnya.

Usai membaca Surat Al Maidah ayat 3, aku berpikir aku bakalan sangat rugi bila mati tidak dalam memeluk agama Islam. Maka aku belajar Islam untuk memahaminya lebih lanjut. Saat itu, keluargaku pun belum tahu bahwa aku sudah beritikad akan masuk Islam.

Akhirnya pada 10 Agustus 1994 aku masuk Islam. Yang membimbing syahadatku adalah kepala Kantor Depag Kabupaten Nganjuk Bapak Haji Masyuri disaksikan oleh kepala-kepala KUA se-Kabupaten Nganjuk di Aula Kantor Depag Nganjuk.

Tentu saja semua fasilitas yang kudapat dari Belanda, Australia dan gereja dihentikan. Bahkan Aku pun ditinggalkan istri dan ketiga anakku. (Anak pertama dan keduaku kini sudah masuk Islam, red.).

Namun aku sangat bahagia kebenaran yang kucari kini kudapatkan. Aku sangat terharu membaca Al Maidah ayat 3 yang terjemahannya berbunyi, “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Akhirnya dengan mantap pada tahun 1994 itu juga saat usiaku 39, aku dikhitan. Perasaan bahagia dan geli jadi satu karena antri bareng bocah cilik-cilik yang umurnya terpaut 30-an tahun denganku. He…he..he… Alhamdulillah.

6 komentar:

  1. smoga Allah slalu melindungi saudara

    BalasHapus
  2. Alhamdulilah,Ayo Pak Berjihad ke Jalan Allah,Seperti dulu Bapak Promosi Agama Kresten.Biar Njanjuk yg 56 Gereja Umatnya kembali lagi ke Masjid utk menyembah Allah Ta Alla Tuhan Kita.Biar kita masuk surga.Sukses Kagem Bapak.Alhamdulilia

    BalasHapus